Jumat, 20 Desember 2013

Sejuta Kenangan dari Brazil

 Kisah perjalanan ke Brasil ini diawali ketika saya kerepotan mencari visa turis untuk masuk ke negara samba ini. Saya ngambil paket circuit dari agen travel yang kebetulan isinya bule Perancis semua, cuma saya semata wayang yang berkulit cokelat dari Indonesia. Kebetulan saya memang tinggal dan kerja di Perancis, untuk liburan kali ini saya ngambil rombongan wisata dengan tujuan utama Brasil. Nah, repotnya buat saya yang satu-satunya dari negeri di luar Perancis saya harus datang sendiri ke kedubes Brasil di Paris untuk menyerahkan dokumen, mengisi formulir dan segala tetek bengek lainnya.

Saya diharuskan kembali lagi seminggu sesudahnya untuk mengambil pasport yang sudah di isi visa tersebut. Susahnya saya tidak tinggal di ibu kota Paris sendiri melainkan di daerah dan untuk pembuatan visa tersebut tidak bisa diwakilkan oleh agen travel.

Yo wis lah terpaksa saya harus rela bolak balik ke Paris sekedar untuk keinginan saya bisa mengunjungi negerinya si Ronaldo ini. Temen saya yang orang Perancis asli dan ngambil tour sama-sama dengan santainya melenggang tanpa harus ada birokrasi ini itu. Memang ada beberapa negara yang mempunyai prioritas untuk masuk ke Brasil tanpa harus kerepotan mengajukan visa turis.

Pendek kata akhirnya sampai juga saya di kota Rio setelah menempuh perjalanan 12 jam penerbangan Paris - Rio De Jenairo. Paket tour ini jadwalnya memang cukup padat. Dalam jatah 10 hari kita bisa melihat negeri Brasil semaksimal mungkin. Hari pertama tiba di Rio, rombongan langsung diangkut melihat kota Rio tanpa ada waktu berleha-leha lebih dahulu di hotel.

Kota Rio sendiri bertopografi perbukitan dengan tonjolan-tonjolan khas bukit granit diselingi hijaunya vegetasi tropical dan warna lain dari pemukiman penduduk. Kota Rio dengan latar belakang bukit granit langsung berhadapan dengan batas lautan Atlantik dan sapuan pantai pasir putih di pesisirnya.

Rio kota tebesar kedua di Brasil setelah San Paolo disusul kemudian oleh ibu kota Brasil: Brasilia, namun dibandingkan dengan kedua kota tadi, Rio dengan jumlah penduduk sekitar 11, 35 juta punya charme tersendiri dari segi turistik.

Kunjungan pertama pagi itu diawali dengan pendakian di bukit Corcovado sebelah utara Rio untuk melihat dari dekat patung Yesus O Cristo Redentor setinggi 30 m yang berdiri megah di puncak bukit Corcovado.

Untungya kita tidak usah repot-repot bikin acara pendakian karena disitu sudah tersedia tramway yang melintasi hutan lindung Tizuka lansung ke puncak Corcovado. Dari puncak Corcovado kita bisa melihat kota Rio, pantai Copacabana, dan dua bukit terkenal lainnya Sugar Loaf dari ketinggian.

Puas berfoto ria kita beralih ke pesisir, menyusuri pantai-pantai legendaris seperti Ipanema , Leblon dan tentu saja Copacabana dan keramaian kaum Cairoca ( penduduk lokal di Rio ) yang berbaur dengan turis-turis dari manca negara.

Cuaca cerah yang cukup gerah tak melepaskan minat saya untuk menyeruput kelapa muda yang banyak dijual disepanjang pantai. Sayangnya saya tidak ikut-ikutan menenggelamkan diri mandi di laut atau berjemur di pantai sampai gosong kayak bule-bule lainnya tapi cukup berjalan-jalan di sepanjang pantai sambil menikmati nuansa Copacabana disore hari sembari cuci mata.

Hari kedua di Rio diisi dengan jadwal kunjungan ke puncak Sugar Loaf sebagai acara pokok. Dua bukit yang menjulang di sebelah barat Rio menjadi salah satu atraksi turis yang paling banyak dikunjungi setelah Corcovado.

Untuk menghubungi dua bukit tesebut tersedia sarana kereta gantung yang meluncur dari satu bukit ke bukit lainnya, bagi yang nggak suka ketinggian nggak usah nengok-nengok kebawah deh.

Untuk lunch, rombongan dibawa ke restoran lokal yang menyajikan makanan khas Brasil. Saya coba Feijoada semacam sup kacang merah kalau di Jawa. Tetapi yang ini pakai kacang hitam, dimasak dengan berbagai rempah dengan banyak campuran daging.

Terus dimakan dengan nasi putih dilengkapi oseng-oseng kol hijau ala Brasil, tepung tapioka yang disangrai garing dan sepotong orange, nggak tahu apa fungsinya disisipin sepotong orange di menu ini, mungkin buat bikin asem-asem di lidah.

Adalagi menu khas, barbeque Brasil, Carrucho dimana kita bisa makan berbagai macam daging sampai blenger yang diiris langsung oleh sang pelayan dari tusukan daging berukuran jumbo.

Jika tidak bilang stop sang pelayan akan terus mengisi piring kita dengan daging-daging panggang tersebut sampai kita kewalahan untuk menghabiskannya. Siang itu saya juga sempat nyoba cocktail Brasil, Caipirinha dari campuran jeruk nipis yang di tumbuk sebentar didalam gelas dicampur gula pasir, kemudian es batu halus dan terakhir, Cachaça. rhum khas Brasil, rasanya seger banget mirip-mirip Mojito cocktailnya Cuba, cuma yang ini nggak pakai daun menthol.

Keesokan paginya perjalanan dilanjutkan ke lain daerah, dengan penerbangan domestik kita tinggalkan Rio menuju Sao de Iguacu. Di sebelah selatan Brasil berbatasan dengan Argentina, Sao de Iguaçu kota kecil yang hanya berpenduduk 301 409 jiwa terkenal dengan keindahan air terjunnya.

Air terjun terbesar ketiga setelah Niagara di Canada dan Victoria di Zimbabwe namun yang terindah dari ketiganya dengan panorama alami taman nasional Iguaçu tak heran kalau situs ini masuk dalam daftar peninggalan alam yang dilindungi oleh UNESCO pada tahun 1986.

Air terjun Iguaçu sebenarnya merupakan sekelompok air terjun yang berjumlah 275 buah yang membentang sepanjang 2,5 kilometer dan membatasi antara teritoar Brasil dan teritoar Argentina. Sementara 2 sungai yang menyatu di air terjun ini, Misiones dari sebelah Argentina dan Parana dari wilayah Brasil.

Untuk menikmati kendahan air terjun secara spektakuler dari jarak dekat beberapa anggota rombongan termasuk saya sepakat menyewa perahu boat untuk menyusuri arus balik sungai Parana sampai beberapa meter tepat dibawah pancuran air terjun.

Meskipun sudah diwanti-wanti untuk memakai jas hujan atau mantel anti air tapi tetep saja kita basah kuyup selepas dari acara berperahu ini. Kita sempat juga mengunjungi Bird`s Parc Iguaçu yang tidak seberapa jauh dari lokasi air terjun.

Kita bisa melihat aneka burung yang hidup di belantara Brasil dan dipelihara dengan baik di taman indah bernuansa tropikal, saya jadi keingatan waktu mengunjungi Bird`s Parc di Ubud Bali...tapi disini tempatnya jauh lebih luas menyatu dengan hutan lindung yang ada disitu.

Esok harinya pagi-pagi buta kita sudah harus meninggalkan Iguaçu untuk melanjutkan perjalanan dengan penerbangan domestik menuju kota Salvador de Bahia sebelah timur laut Brasil . Kita harus bangun pagi karena memang route jarak tempuhnya lumayan panjang, 8 jam penerbangan dengan transit di kota Sao Paolo untuk ganti pesawat.

Sampai di Salvador de Bahia suasananya tampak beda sekali, di sini unsur kultur Afrika-nya kental sekali. Menurut sejarahnya penduduk Bahia merupakan turun temurun dari budak-budak Afrika yang dibawa oleh penjajah potugis ke Brasil pada masa abad pertengahan.

Makanya dari segi gaya hidup, religius, adat, seni dan ragam kulinernya cenderung mengarah ke budaya nenek moyang mereka di Afrika sana. Salvador de Bahia kota di pesisir laut Atlantik merupakan kota terbesar ke-lima di Brasil dengan penduduk sekitar 2.673.560 masih menyisihkan bangunan-bangunan tua tipe kolonial dari masa penjajahan Portugis.

Berjalan dikawasan Porto Sugoro atau Itaparica dengan alunan musik Samba dikejauhan dan ibu-ibu penjual makanan dipinggir jalan dengan kostum tradisional mereka seakan membawa kita masa-masa kolonial. Sering juga kita berpapasan dengan group penari Capoera yang mempertunjukan keahlian mereka mencampur unsur bela diri, tarian dan akrobatik.

Untuk urusan perut, ragam kuliner Bahia tidak kalah menarik dari daerah-daerah lain, terutama unsur spicy dan style ala Afrika. Contohnya menu Moqueca dan Vatapa hidangan ikan laut dan udang yang dimasak dengan minyak sawit Dende dan santan kelapa, dengan bumbu minimalis, bawang bombay, bawang putih, jahe, cabe, tomat, daun ketumbar fresh, garam dan merica

Rasanya nggak selezat gulai ikan Sumatera tapi lumayan untuk dicoba. Biasanya menu ini dimakan dengan nasi putih atau bubur tapioka.

Dua hari tak terasa kita lewatkan di kota Salvador Bahia, sekarang route terakhir dari perjalanan kita memasuki kawasan utara negeri Brasil dengan pusat tujuan kota Manaus di pesisir sungai besar Amazonia serta hutan belantara tropikal terbesar didunia.

Di kota Manaus sendiri kita cuma tinggal seharian menikmati kota yang cukup ramai ini. Seperti pada umumnya kota pelabuhan, Manaus merupakan distrik tempat pelabuhan central Amazonia dimana kita bisa melihat banyak kapal-kapal berlabuh disitu baik kapal angkutan umum, kapal dagang ataupun kapal yang mangangkut hasil hutan dan industri.

Kota Manaus sempat populer di awal abad ke 19 saat meledaknya industri karet dari kawasan ini. Penjajah Portugis yang mengeksplosir perkebunan karet sempat menjalin masa keemasan dengan membuka gaya hidup baru kota Manaus ala Eropa. Salah satu peninggalan masa kejayaan Manaus adalah bangunan megah opera Amazonas yang terletak ditengah kota.

Sore harinya rombongan diantar ke pelabuhan setempat untuk meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu motor lokal menyusuri sungai Amazonia menuju bungalow tempat kita menginap di pelosok belantara dengan waktu tempuh kurang lebih 5 jam.

Kalau hari -hari terakhir kita di biasakan oleh hiruk pikuknya manusia dan kota besar, kali ini kita dibawa ke pedalaman rimba raya menghijau dengan ke-aneka ragaman ekosistemnya.

Sungai Amazonia sungai terpanjang kedua setelah Nil menawarkan panorama alam yang menakjubkan, terkadang melintas burung-burung Ara dengan warna-warninya di rerimbunan kanopi hutan hijau atau ikan lumba-lumba air tawar yang berenang tak seberapa jauh dari perahu. Kita sempat melintasi pertemuan dua aliran sungai yang berbeda warna dari aliran Rio Negro yang kehitaman dan Solimoes yang keruh kecokelatan.

Sampai di bungalow senja telah turun, buffet untuk dinner telah menunggu. Di antara keremangan senja, keramaian satwa malam dan semerbak harum ikan panggang segar dari sungai Amazonia membuat kita tersadar bahwa hidup ini terasa indah bila semuanya damai dan lestari.

Dua hari tinggal di belantara Amazonia dihabiskan dengan aktifitas ecotouriste yang di bantu oleh seorang guide spesial ahli dibidang kehutanan dan ragam flora fauna di kawasan Amazonia.

Kegiatan di awali dari pengamatan satwa liar, pengenalan bermacam tumbuhan liar dari yang bisa dikonsumsi sebagai bahan makanan maupun tumbuhan obat yang banyak dipergunakan oleh kaum indian , mengunjungi perkampungan indian setempat, berburu caiman ( semacam buaya kecil yang banyak terdapat didaerah itu ) sampai acara memancing ikan piranha.

Ikan khas Amazon ini terkenal dengan kebuasannya, ternyata pada habitat aslinya mereka tak seganas yang kita bayangkan dan pada umumnya mereka hanya menyerang hewan yang luka dan sebagian besar jenis piranha lebih suka makan tetumbuhan.

Ada beberapa jenis ikan piranha dan jenis ikan piranha merahlah yang konon terkenal paling agresif. Tapi biar bagaimanapun juga image tentang kebuasan piranha memang sudah melegenda ini terbukti ketika saya melihat dengan mata kepala sendiri kegarangan gigi-gigi ikan piranha yang berhasil saya tangkap.

Dan baru saya ketahui kalau ternyata ikan piranha enak untuk dimakan, soalnya ikan-ikan hasil tangkapan kita langsung kita bakar dan rasanya tidak kalah menarik dari ikan-ikan air sungai lainnya.

Route terkahir dari kunjungan ke Brasil ini dari Amazonia kita kembali ke Rio untuk menghabiskan sisa hari terkahir sebelum kita kembali ke Paris. Kita punya waktu bebas selama dua hari untuk menikmati kesempatan terakhir di kota Rio atau sekedar shopping memenuhi koper oleh-oleh.

Saya sendiri dengan beberapa rekan anggota rombongan yang sudah menjadi akrab memilih acara jalan-jalan di sepanjang Copacabana, dan salah satu anggota menyarankan untuk melihat dari dekat Favelas perkampungan urban kaum Carioca.

Menurut saya pribadi tidak begitu menarik, soalnya untuk melihat perkampungan kumuh di tengah kota dengan kemiskinan masyarakatnya bukan merupakan tontonan yang menarik dan itu bukan merupakan hal yang baru bagi saya

Tetapi bule-bule itu pada ngotot pengin mengunjunginya, akhirnya untuk menjaga keamanan kita menyewa guide lokal, soalnya Favelas terkenal juga dengan tingkat kriminalitasnya. Setelah usai mengunjungi Favelas untungnya kunjungan terakhir kita pilih ke Botanical Garden yang lebih menyejukan dan memberikan udara jauh lebih segar di benak kita.

Akhirnya saya tinggalkan Brasil dengan sejuta kenangan, beberapa oleh-oleh untuk teman-teman telah siap didalam koper, tak lupa sebotol Caçacha masuk dalam daftar bawaan.

Terbayang ide di benak saya untuk awal bulan depan mengundang beberapa kerabat dekat, menceritakan kisah perjalanan saya ke Brasil sambil menikmati menu kuliner khas Brasil yang akan saya olah sendiri. Kayaknya Caipirinha, Feijoada dan Moqueca tak terlalu susah untuk dibuat........hmmmmmm merekapun tahu kalau saya paling hobby dalam urusan makan-makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar